.:e-rwin sutomo:.
Wednesday, March 29, 2006
Monday, March 27, 2006
iklan 5enses di tv7
Hari minggu kemaren, sering sekali aku liat iklan konser KLa 5enses di tv7, dan rasanya konser KLa 5enses itu disiarin langsung hari kamis 30 Maret jam 21.00 ;-)
asyik neh, bisa liat lagi, tapi bingung mau ngrekamnya gimana ya ?
dari milis, juga belum ada kabar apakah konser itu di rekam ke vcd atao dvd
Konser Bon Jovi, di Borgota, New Jersey
Asyik juga lama2 liat dvd itu, gambar juga sangat cling ;-) di tv 21", masih satu paket dengan dvd, ada persiapan konser, dan juga liputan mereka main poker di hotel itu ;-)
Friday, March 24, 2006
Import blogspot.com ke wordpress.com
Malam ini aku berhasil melakukan import posting blog-ku yang ada di blogspot ke wordpress, setelah beberapa kali gagal akhirnya berhasil juga setelah ganti browser pake firefox. Di IE aku coba di PC dan Laptop-ku tetap aja gak ada hasil, akhirnya setelah saling pandang ama abud :) akhirnya dapet ide untuk coba pake firefox. Awalnya ndak ada beda, tetap bermasalah ;( coba2 terus akhirnya bisa2 sendiri, cuman........................, masalahnya dimana masih belum ketahuan ;(
ada yang pernah ngalami gak ya ?
.... koq di bikin susah
…., koq di bikin susah
Tadi malem, beberapa kali lihat iklannya a mild-nya sampoerna, pertama bingung, berikutnya tersenyum, terakhir aku ketawa. Setelah aku ikuti iklan itu beberapa kali, muatannya agak “berat” juga (
Nyindir orang pemerintahan, banget !. pertama yang terlihat ada orang ngurus surat dan tinggal di stempel, dia dateng jam 09.00, dah mau di stempel, bapaknya malah baca koran. Dah baca koran, eh bapaknya malah telpon ampe jam 10.30, masuk jam 12.00 bapaknya makan, tapi tuh surat belum juga di stempel (
Akhirnya surat itu di stempel, jam 15.10, tapi …. yang minta surat malah ketiduran, ternyata penderitaannya belum berakhir, setelah bapak itu ternyata masih ada empat bapak lagi yang harus memberi stempel, aduhhh.
Wah, butuh 4 hari lagi nih biar surat itu selesai, satu orang untuk nyetempel aja butuh sehari, abis jam 15.00 biasanya orang2 pemerintahan khan harus apel sore trus pulang (
Tapi akhirnya aku dapet inspirasi untuk bikin judul buku keduaku (
Tuesday, March 21, 2006
Inovasi Ibu Mertua ku ;-)
Ternyata inovasi bisa dilakukan siapa saja dan dimana saja, bisa dari yang kecil sampai yang besar. Hari ini aku belajar banyak dari Ibu mertua ;-D
Buku ku di Approved penerbit ;-)
All about women, Atrium TP 1, 3-9 April 2006
Jumat kemaren (17 Maret 2006) aku, nuansa (staf PR), dan miss Endang (PR) maen ke sebuah tempat yang aku gak tahu namanya (tapi orangnya bernama Budi), disana kita ngomongin rencana acara olimpiade komputer untuk anak. Budi ternyata punya acara yang sama dengan yang kita rencanakan, cuman lebih kearah intern perusahaannya sih. Trus kita coba untuk bikin acara bersama, tapi di TP, miss Endang nawarin kalo di atrium TP 3, ngomong sana-sini, ok kita sepakat.
Abis dari tempat Budi kita ke TP 3, kita masuk di Head Office Pakuwon di lantai 5 apa 7 ya ? lupa, wow suasana kantornya bener2 kantor ;-D, tapi jarang aku liat pegawai cowok, banyak cewek cakep berkeliaran ;-p. Akhirnya kita ngomong2 tentang acara untuk tanggal 3-9 april 2006 "all about women" diluar olimpiade komputer. Kita dapet space 2x6 free, gile, padahal kalo sewa berapa ya ? ;-) setelah jumatan, kita liat tempat acara, ternyata tidak seluas perkiraanku. Agak sempit juga sih, tapi lokasinya yang tepat di depan pintu masuk, cukup menguntungkan.
Siaran di Radio
wuihh, seminggu gak update blog ;-)
ya sekarang aku mo nulis beberapa "kesibukan" selama seminggu kemaren ;-)
Tuesday, March 14, 2006
Pengamen dan koinnya
Friday, March 10, 2006
(i believe i can fly)-nya imago
Wednesday, March 08, 2006
Menulis, Bisa Kapan Saja dan di Mana Saja
Dimuat di Jawa Pos Rabu, 08 Mar 2006,
Oleh: Ria Fariana
ternyata bisa membuka peluang kreativitas bagi karyawannya untuk menulis.Hal ini saya alami sendiri ketika bekerja di perkantoran sektor forwarding ekspor impor. Di waktu senggang, bila pekerjaan sudah tak banyak lagi, daripada ngegosip dan bercanda ke sana ke mari, maka menulis adalah pilihan lebih produktif dan kreatif. Meski itu sekadar menulis email untuk teman, diskusi di ruang maya, atau pun yang benar-benar menulis dalam sebuah buku tulis dengan tulisan tangan. Kebiasaan ini mengantarkan saya untuk bisa menulis dalam bentuk buku,yaitu hadirnya novel duet perdana berjudul Siluet Senja oleh Gema Insani Press yang kemudian diikuti single perdana berikutnya berjudul Mutiara oleh Dar Mizan. Memang, kreativitas menulis ini tak selalu direspons positif oleh perusahaan. Saya sendiri, demi kecintaan pada dunia tulis-menulis, membuat saya memilih hengkang. Yang ingin saya garis bawahi dari tulisan di atas adalah, ternyata budaya menulis bisa muncul dari suatu profesi yang secara sepintas lalu tak ada hubungannya dengan dunia tulis menulis. Maka, di sini menulis lebih merupakan sebuah budaya dan kebiasaan. Suasana yang kondusif bisa mendukungnya. Contoh yang lain adalah sektor ekspor tenaga manusia alias TKW. Teman-teman di Hongkong, yang mayoritas PRT (pembantu rumah tangga), menyempatkan waktunya --yang sedikit itu-- untuk menulis. Mereka membentuk forum khusus untuk bertemu sesama TKW dan membahas tentang dunia tulis-menulis. Bila kebetulan mereka mempunyai majikan yang baik, maka menulis dengan mengetik di komputer hasil meminjam majikan menjadi suatu anugerah tak terkira. Bila pun kurang beruntung, maka menulis di kertas atau pun buku dengan tulisan tangan menjadi pilihan yang tetap menyenangkan. Meneladani Siapa?Menjadi guru sangatlah mulia. Berawal dari guru inilah, motivasi menulis hendaknya bisa mulai dirintis. Bila mereka saja yang notabene digugu dan ditiru malas untuk menulis, lalu bagaimana lagi para muridnya? Yang layak disebut, ternyata tetap bermunculan murid yang menelurkan karya tulis yang luar biasa. Walaupun bolehlah dibilang tak ada guru yang bisa mereka teladani untuk biasa menulis, ternyata ada faktor pendorong lain. Mereka berguru pada orang tua, saudara, teman sebaya, dan penulis favorit. Orang tua yang akrab dengan dunia tulis-menulis menjadikan seorang bocah yang pada umur 7 tahun sudah mempunyai buku berjudul Puisi untuk Bunda dan Dunia. Ia juga pemenang pertama lomba menulis surat untuk presiden RI. Abdurrahman Faiz, namanya. Bocah yang sehari-harinya tak pernah lepas dari menulis ini meneladani sang bunda, Helvy Tiana Rosa, penulis produktif mantan ketua umum FLP (Forum Lingkar Pena). Tulisan sang bunda telah mendunia dan diterjemahkan dalam banyak bahasa Internasional, semisal Inggris, Prancis dan Arab. Sang bocah juga mendapat dukungan dari seorang ayah yang juga berprofesi sebagai wartawan. Lalu ada Izzati yang pada umur 5 tahun bisa membuat buku berjudul Nasi untuk Kakek. Meski pernah diakui oleh ibunya --di satu acara mengupas kemampuan putrinya yang masih kecil tapi sudah mampu menulis buku-- tak ada dari garis keluarga yang berkemampuan menulis. Ternyata motivasi Izzati kecil adalah "cemburu"positif terhadap Abdurrahman Faiz. Penularan semangat yang cukup membanggakan.Maka, sang ibu bertindak sebagai motivator ulung Izzati, bahwa ia pun bisa seperti Faiz. Ia bisa menulis buku kalau ia mau dan terus berlatih, sehingga lahirlah Nasi untuk Kakek. ` Banyak sekali Izzati-Izzati lain yang termotivasi dari penulis cilik pendahulunya dan ingin meniru prestasinya. Tinggal bagaimana daya dukung lingkungannya seperti orang tua, saudara, tetangga, sekolah terhadap potensi luar biasa ini. Belum lagi kalau kita menyebut nama Pipit Senja, penulis fenomenal yang bersuamikan wartawan dan "mencipta" penulis anak-anak yang sudah menghasilkan banyak buku best seller. Kita bisa bayangkan, di luar sana ada keponakan yang berusia ABG yang melihat tante atau oom-nya bisa menulis dan karyanya dipajang di etalase-etalase toko buku, bisa menjadi motivasi awal seorang remaja untuk cinta menulis. Atau, bisa juga seperti kasus saya, berangkat dari monotonnya kerja dan mencari selingan, ternyata menemukan keasyikan dunia menulis ini. Padahal ketika masih sekolah dulu sering dimarahi guru Bahasa Indonesia, karena tulisan tangannya berbentuk abstrak dan sulit dipahami. Intinya, semua itu butuh suatu pengkondisian dan keteladanan agar budaya menulis ini tumbuh subur. Sebagai MotivatorSeorang guru, selain diharapkan bisa menulis sesuai profesinya, juga diharapkan bisa mendukung para muridnya. Saya jadi teringat seorang teman yang datang ke rumah untuk meminta masukan menjelang lomba mading deteksi oleh Jawa Pos digelar. Teman saya itu "cuma" tenaga administrasi sebuah SMP swasta datang bersama rekan guru yang lain. Usut punya usut, ternyata guru yang seharusnya lebih berkompeten membina para murid ini, yaitu guru bahasa Indonesia, belum tergerak.Ketika teman saya itu meminta dukungan saya untuk hadir pada hari H lomba digelar, saya terikat waktu kantoran. Kejadian itu adalah satu dari banyak hal yang mengetuk kesadaran saya untuk banting setir, bahwa murid-murid membutuhkan pendamping yang peduli untuk memotivasi mereka berkreasi. Sehingga dengan lapang dada saya tinggalkan pekerjaan yang hampir lima tahun saya jalani untuk lebih fokus pada remaja-remaja yang ingin maju. Singkat kata, bila kita tak ada dana untuk mendukung kreativitas anak didik, cukup dukungan semangat dan moril akan sangat berarti untuk mereka. Bila belum ada kemampuan pada diri pendidik untuk menghasilkan karya yang dimuat di media massa atau pun terbit dalam bentuk buku, cukup kemampuan kita untuk bersimpati pada murid yang mau dan mampu menulis. Sebuah reward berbentuk pujian yang membesarkan hati sudah cukup bagi mereka untuk merasa dihargai. Bahkan ketika para murid itu sudah membuat tulisan tapi belum layak benar untuk dipublikasikan, pompaan semangat dari kita tentu akan sangat berharga bagi mereka agar mau mencoba dan terus mencoba lagi. Marilah situasi ini kita ciptakan.Ria Fariana, novelis, alumnus Bahasa Inggris Unesa, dan mengikuti program sertifikasi untuk S2 Unesa Fakultas Bahasa dan Sastra. Penulis juga merupakan pengurus FLP (Forum Lingkar Pena) Jatim.
Monday, March 06, 2006
Menggali Potensi Knowledge dalam Perusahaan
Banyak organisasi bisnis belum atau tidak mengetahui adanya potensi knowledge (pengetahuan+pengalaman) tersembunyi yang dimiliki oleh karyawannya. Mengapa demikian ? Riset Delphi Group menunjukkan bahwa knowledge dalam organisasi tersimpan dengan struktur : 42 % di pikiran (otak) karyawan, 26 % - dokumen kertas, 20 % -dokumen elektronik, 12% - knowledge base elektronik. Fakta umum ini memang terjadi di mana-mana, bahwa aset knowledge sebagian besar tersimpan dalam pikiran kita, yang disebut sebagai tacit knowledge. Tacit knowledge adalah sesuatu yang kita ketahui dan alami, namun sulit untuk diungkapkan secara jelas dan lengkap. Tacit knowledge sangat sulit dipindahkan kepada orang lain karena knowledge tersebut tersimpan pada pikiran masing-masing individu di dalam organisasi.
KM ada untuk menjawab persoalan ini, yaitu proses mengubah tacit knowledge menjadi knowledge yang mudah dikomunikasikan dan mudah didokumentasikan, yang disebut explicit knowledge. Dokumentasi menjadi sangat penting dalam KM, karena tanpa dokumentasi semuanya akan tetap menjadi tacit knowledge dan knowledge itu menjadi sulit untuk diakses oleh siapapun dan kapanpun dalam organisasi.Peta knowledge dalam organisasiAgar potensi knowledge setiap karyawan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, tentu perusahaan memerlukan informasi secara lengkap mengenai aset berharga ini. Sebagai sebuah langkah untuk mendeteksi adanya tacit knowledge ini, perlu dilakukan pendataan lewat kuesioner yang disebar kepada semua orang dalam organisasi. Sebagai contoh, kuesioner dapat berisi : 1) Apakah anda mengetahui bahwa anda mempunyai potensi knowledge yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh organisasi ? 2) Apakah anda mengetahui bahwa rekan kerja (internal maupun eksternal departemen) anda mempunyai potensi pengetahuan dan keahlian yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh organisasi ? 3) Apa kendala dari pertanyaan 1 dan 2 ? Pertanyaan lain selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Seluruh jawaban hasil kuesioner tersebut kemudian dipadukan dengan database karyawan yang tentu telah dimiliki sebelumnya. Dengan langkah ini perusahaan akan mempunyai peta potensi knowledge yang dimilikinya. Secara strategis, seluruh peta dan kategori knowledge ini juga yang menjadi dasar pertimbangan bagi kebijakan rotasi, promosi, mutasi dan sampai dengan berbagai pelatihan karyawan. Pada gilirannya perusahaan semakin dapat memperkuat setiap pos pekerjaan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh karyawannya. Kategori dan peta knowledge untuk daya saingDari peta knowledge yang ada, selanjutnya perusahaan dapat melakukan pengkategorian knowledge yang menurut Michael Zack (1999) ada tiga yaitu : 1) Core knowledge, adalah knowledge inti yang diperlukan sebuah bisnis. Contohnya, jika ingin buka bengkel tentu harus mempunyai mekanik yang handal, peralatan yang lengkap, suku cadang dll. 2) Advanced knowledge, adalah knowledge yang membuat keunggulan bersaing sehingga sekaligus perusahaan dapat mampu berhadapan langsung dengan pesaingnya. Contohnya, selain dapat memperbaiki kendaraan pada umumnya, sebuah bengkel yang terus mengikuti perkembangan teknologi otomotif akan dapat menangani perbaikan kendaraan masa kini yang sebagian besar sudah computerized. Dengan knowledge yang satu atau dua langkah di depan membuat pesaing akan sempoyongan untuk mensejajarkan diri. 3) Innovative knowledge, merupakan knowledge yang membuat perusahaan dapat merubah 'aturan main' dunia bisnis yang digeluti dan membuat perusahaan menjadi pemimpin di bidang bisnisnya. Namun ketiga kategori ini tidak bersifat tetap, perusahaan harus tetap waspada. Sebuah perusahaan yang saat ini berada pada tingkat innovative knowledge, karena adanya cara dan teknologi baru yang diterapkan pesaing dapat merosot menjadi berada di core knowledge sehingga ia kehilangan daya saing. Contoh paling aktual adalah hadirnya teknologi CDMA yang merubah peta persaingan bisnis para operator selular. Akhirnya, jika kita telah mengetahui kategori knowledge yang ada, selanjutnya kita dapat menentukan peta kebutuhan knowledge yang diperlukan untuk memenangkan pertempuran dengan pesaing.
KLa project 5enses Live Concert
Setelah lama, gak konser, ternyata diem2 KLa dah nyiapin konser lumayan agak gede di Plenary Hall, tanggal 30 MAret 2006 jam 20.00, rencannya sih. Dan ada selentingan kalo akan disiarin TV7, cuman gak tahu live atao recorded ;-)
gambar diambil dari detik
Membangun Tradisi Menulis Para Guru
Padahal, keduanya sama-sama pendidik serta pengajar. Yang membedakan hanya tempat mereka mengajar.Saya yang hampir setiap hari menikmati tulisan-tulisan di rubrik Opini Metro salut terhadap kegigihan para guru yang meluangkan waktunya untuk menulis. Misalnya, Saiful Irwan dari Lembaga Pendidikan Luqmanul Hakim dan Ibu Hernawati Kusumaningrum dari SMP Al Hikmah. Tema tulisannya memang tak pernah jauh dari dunia pendidikan, dunia baca, serta masalah keremajaan. Sebuah topik yang memang menjadi makanan sehari-hari mereka.Makhluk LangkaGuru yang suka menulis biasanya juga penyuka buku, hobi membaca, dan "kutu buku". Guru bertipe seperti itu mau menyisihkan sebagian penghasilannya untuk menghilangkan dahaga akalnya. Secara ekonomi, gajinya tidak jauh berbeda dari guru-guru lain. Tetapi, mereka rela dan sadar untuk selalu "meng-upgrade" pengetahuannya agar tidak kalah dari murid-muridnya. Mereka juga sadar, untuk menulis yang baik, diperlukan banyak membaca dan membaca agar kualitas tulisannya tidak kering. Guru yang berhobi membaca dan kutu buku seperti itu memang tidak banyak. Bahkan bisa disebut sebagai "makhluk langka". Jumlahnya sulit diketahui pasti. Yang jelas, guru yang demikian pantas menjadi motor masyarakat baca-tulis, minimal di hadapan murid-muridnya.Jika guru penyuka buku (apalagi yang kutu buku) sedikit, benarkah guru-guru kita malas membaca? Jika dijawab benar dan menganggap semua malas membaca, pasti keliru. Tak bisa semua disamakan seperti itu. Ada guru yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku. Bukan hanya yang menjadi bahan pengajarannya, tetapi juga buku-buku lain. Malahan, mereka rutin membaca dan berlangganan koran, sesekali membeli majalah. Buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal, tapi juga buku second yang dibeli di pasar buku murah. Namun, (sekali lagi) guru yang seperti itu memang sangat jarang.Jika membaca saja malas, apakah mungkin seorang guru mampu menulis secara baik? Mampukah menghasilkan tulisan, minimal artikel yang terkait bidang ilmunya? Yang lebih tinggi lagi, menghasilkan buku yang bisa menambah wawasan membaca publiknya, khususnya murid-muridnya. Mari, diam-diam, kita mendeteksi apakah guru-guru kita mampu menulis artikel di koran, majalah, tabloid kelas rendah, kelas sedang, sampai kelas atas. Setiap sekolah bisa memantau apakah ada gurunya yang menulis artikel di media massa. Adakah yang sudah menulis buku umum atau buku pelajaran di fakultas yang ditekuninya bertahun-tahun.Guru yang menulis dan rela menghabiskan waktu untuk menulis perlu dihargai lewat hadiah, apa pun bentuknya, yang penting bernilai tinggi secara intelektual serta finansial. Mungkin ada baiknya guru yang mampu menulis di koran diberi kompensasi khusus, misalnya berupa honor tambahan. Sehingga, guru penulis tersebut mendapatkan honor dobel, selain dari koran yang bersangkutan. Metode tersebut sejak lama diterapkan kalangan perguruan tinggi. Misalnya, Universitas Negeri Malang (UM) yang memberikan reward khusus kepada civitas akademikanya (baik dosen maupun mahasiswa) yang mampu menulis di surat kabar. Hal yang sama juga dilakukan ITS Surabaya. Hasilnya? Dalam beberapa tahun terakhir, tradisi menulis di kedua institusi pendidikan tinggi tersebut maju secara signifikan.Begitu pula, pemerintah seharusnya menganugerahkan nilai tinggi untuk setiap artikel yang ditulisnya. Apalagi ditulis di koran beroplah banyak dan berkualitas tinggi. Masyarakat sudah tahu mana saja koran yang sangat selektif dalam menerbitkan artikel. Menghargai karya ilmiah atau ilmiah populer dengan nilai tinggi berarti meninggikan posisi menulis di atas membaca yang lantas diharapkan mampu membiasakan guru bersaing antarguru lewat menulis. Juga, mampu mengangkat namanya di antara koleganya sekaligus mengantarkan nama sekolahnya ke seluruh penjuru daerah. Bukankah untuk saat ini makin banyak koran (baik lokal maupun nasional) yang sangat welcome pada tulisan para guru tersebut? Tidak perlu jauh-jauh, Metropolis Jawa Pos sudah menunjukkan komitmen itu. Selanjutnya, bergantung kemauan dan iktikad baik sang guru apakah "mau atau tidak" memanfaatkan peluang emas tersebut.Begitu pun yang layak menjadi kepala sekolah, apalagi memegang jabatan di Dinas Pendidikan, seharusnya juga orang yang prestatif dalam dunia tulis-menulis. Lebih bagus jika mampu menghasilkan buku yang diakui Ditjen Dikdasmen, mengusung kurikulum berbasis kompetensi. Bukan sekadar menulis LKS (lembar kerja siswa) yang jika ditilik isinya hanya berkutat dan berputar-putar dari itu ke itu. Murid menjadi malas menjelajahi dunia ilmu, tidak bereksplorasi, dan akhirnya harus terus bergelut dengan hafalan. Bahkan, murid hanya menghafal jawaban tanpa perlu membaca soalnya. Itulah salah satu fenomena remaja kita akibat dunia sekolah yang tak kompetitif, tak bergairah, minim prestasi, dan kurang kesungguhan menghasilkan buku ajar yang benar-benar bermutu.Jika mengajar adalah tugas mulia, menulis tentu jauh lebih mulia. Menulis adalah menyebarkan ilmu. Tulisan, baik artikel maupun buku, adalah warisan guru yang paling berharga. Lewat tulisan, guru mengajar orang yang membaca tulisannya dan "abadi" sepanjang masa selama tulisan itu tak dimusnahkan. Mereka pun tak hanya mengajar murid di kelasnya, tapi juga semua pembacanya. Para guru seharusnya tidak boleh kalah dari murid-muridnya. Meski masih berstatus "murid", banyak anak didiknya yang sudah mampu menulis serta membuat buku. Ada anak-anak usia SMP dan SMA yang produktif menelurkan novel. Bukan hanya satu, tetapi nyaris sama dengan jumlah jari tangannya. Beberapa di antaranya bahkan menjadi best seller. Tentu itu menggembirakan bukan?Para guru seharusnya menjadikan hal tersebut sebagai sebuah motivasi. "Jika murid saya bisa, kenapa saya tidak?" begitulah kira-kira. Tentu, yang dimaksud di sini adalah menulis sesuai bidang ilmu yang ditekuni. Meski, menulis bidang kreatif lain tidak dilarang. Jika guru dan murid sama-sama suka menulis, betapa indahnya pembelajaran di sekolah kita. Mungkinkah?
extravaGARING-ABG
Semalem, aku coba liat extravaganzaABG udah beberapa kali liat sih, cuman penasaran aja akhirnya liat lagi. Ternyata hasilnya masih sama dengan perasaanku yang lalu, "garing banget nih acara...", pikirku. Gak tahu kenapa aku ngerasa guyonan mereka gak lucu banget, aku malah ketawa gara2 liat judul film JamesBond "Octopussy" ;-D, ama iklannya kotex yang ada air jatuh ke pembalut ;-p
Dibanding dengan senior2 mereka di extravagansa, akting mereka terasa sekali di-buat2, maksa banget. Yang senior juga terlihat di-buat2 tapi gak garing sepert yang ABG-nya itu, yang ABG lebih tertolong oleh tampang aktor/tris yang cakep2 sih, terus yang tadi malem, menurut aku tertolong oleh kehadiran Slank, yang bawain 2 lagu (KuTakBisa dan SBY) ato lebih yah ? yang aku sempet liat, 2 lagu ...,
Atao ini hanya perasaaanku saja ya ?
Thursday, March 02, 2006
Akibat salah tulis "DIKONTROKAN"
Tips Aman berinternet
Internet merupakan belantara yang luas dan "ganas" bagi sebagian orang. Mulai hal2 yang biasa sampai yang tidak biasa, pagi ini aku dapet sesuatu yang lucu dari garingbasi tentang cara aman berinternet, lucu juga, untuk yang aneh dan seksis bisa klik disini
Wednesday, March 01, 2006
Creative Common, hak cipta kreatifitas ? ....
Creative Commons is working to revive them. We use private rights to create public goods: creative works set free for certain uses. Like the free software and open-source movements, our ends are cooperative and community-minded, but our means are voluntary and libertarian. We work to offer creators a best-of-both-worlds way to protect their works while encouraging certain uses of them — to declare "some rights reserved." Thus, a single goal unites Creative Commons' current and future projects: to build a layer of reasonable, flexible copyright in the face of increasingly restrictive default rules. Creative Commons' first project, in December 2002, was the release of a set of copyright licenses free for public use. Taking inspiration in part from the Free Software Foundation's GNU General Public License (GNU GPL), Creative Commons has developed a Web application that helps people dedicate their creative works to the public domain — or retain their copyright while licensing them as free for certain uses, on certain conditions. Unlike the GNU GPL, Creative Commons licenses are not designed for software, but rather for other kinds of creative works: websites, scholarship, music, film, photography, literature, courseware, etc. We hope to build upon and complement the work of others who have created public licenses for a variety of creative works. Our aim is not only to increase the sum of raw source material online, but also to make access to that material cheaper and easier. To this end, we have also developed metadata that can be used to associate creative works with their public domain or license status in a machine-readable way. We hope this will enable people to use our search application and other online applications to find, for example, photographs that are free to use provided that the original photographer is credited, or songs that may be copied, distributed, or sampled with no restrictions whatsoever. We hope that the ease of use fostered by machine- readable licenses will further reduce barriers to creativity. History Creative Commons was founded in 2001 with the generous support of the Center for the Public Domain. It is led by a Board of Directors that includes cyberlaw and intellectual property experts James Boyle, Michael Carroll, Molly Shaffer Van Houweling, and Lawrence Lessig, MIT computer science professor Hal Abelson, lawyer-turned-documentary filmmaker-turned-cyberlaw expert Eric Saltzman, renowned documentary filmmaker Davis Guggenheim, noted Japanese entrepreneur Joi Ito, and public domain web publisher Eric Eldred. Fellows and students at the Berkman Center for Internet & Society at Harvard Law School and Stanford Law School Center for Internet and Society helped get the project off the ground. Creative Commons is now housed at offices in San Francisco. The Board oversees a small administrative staff and technical team, and is advised by a Technical Advisory Board. Creative Commons is sustained by the contributions of a growing group of supporters.