Monday, March 06, 2006

Membangun Tradisi Menulis Para Guru

tulisan ini dimuat di jawa Pos Senin 6 Maret 2006,
bagus buat refleksi kita,
Oleh : Nurhadi, Teknik Fisika ITS
Warga metropolis, khususnya para guru, patut berterima kasih dan mengapresiasi khusus Metropolis Jawa Pos. Sejak koran ini menurunkan rubrik Opini Metro, terkuaklah potensi menulis para guru yang selama ini masih tersimpan di laci. Tidak seperti dosen di perguruan tinggi yang dicap sebagai "sosok intelektual", kemampuan menulis guru-guru masih sering diragukan.

Padahal, keduanya sama-sama pendidik serta pengajar. Yang membedakan hanya tempat mereka mengajar.Saya yang hampir setiap hari menikmati tulisan-tulisan di rubrik Opini Metro salut terhadap kegigihan para guru yang meluangkan waktunya untuk menulis. Misalnya, Saiful Irwan dari Lembaga Pendidikan Luqmanul Hakim dan Ibu Hernawati Kusumaningrum dari SMP Al Hikmah. Tema tulisannya memang tak pernah jauh dari dunia pendidikan, dunia baca, serta masalah keremajaan. Sebuah topik yang memang menjadi makanan sehari-hari mereka.Makhluk LangkaGuru yang suka menulis biasanya juga penyuka buku, hobi membaca, dan "kutu buku". Guru bertipe seperti itu mau menyisihkan sebagian penghasilannya untuk menghilangkan dahaga akalnya. Secara ekonomi, gajinya tidak jauh berbeda dari guru-guru lain. Tetapi, mereka rela dan sadar untuk selalu "meng-upgrade" pengetahuannya agar tidak kalah dari murid-muridnya. Mereka juga sadar, untuk menulis yang baik, diperlukan banyak membaca dan membaca agar kualitas tulisannya tidak kering. Guru yang berhobi membaca dan kutu buku seperti itu memang tidak banyak. Bahkan bisa disebut sebagai "makhluk langka". Jumlahnya sulit diketahui pasti. Yang jelas, guru yang demikian pantas menjadi motor masyarakat baca-tulis, minimal di hadapan murid-muridnya.Jika guru penyuka buku (apalagi yang kutu buku) sedikit, benarkah guru-guru kita malas membaca? Jika dijawab benar dan menganggap semua malas membaca, pasti keliru. Tak bisa semua disamakan seperti itu. Ada guru yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku. Bukan hanya yang menjadi bahan pengajarannya, tetapi juga buku-buku lain. Malahan, mereka rutin membaca dan berlangganan koran, sesekali membeli majalah. Buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal, tapi juga buku second yang dibeli di pasar buku murah. Namun, (sekali lagi) guru yang seperti itu memang sangat jarang.Jika membaca saja malas, apakah mungkin seorang guru mampu menulis secara baik? Mampukah menghasilkan tulisan, minimal artikel yang terkait bidang ilmunya? Yang lebih tinggi lagi, menghasilkan buku yang bisa menambah wawasan membaca publiknya, khususnya murid-muridnya. Mari, diam-diam, kita mendeteksi apakah guru-guru kita mampu menulis artikel di koran, majalah, tabloid kelas rendah, kelas sedang, sampai kelas atas. Setiap sekolah bisa memantau apakah ada gurunya yang menulis artikel di media massa. Adakah yang sudah menulis buku umum atau buku pelajaran di fakultas yang ditekuninya bertahun-tahun.Guru yang menulis dan rela menghabiskan waktu untuk menulis perlu dihargai lewat hadiah, apa pun bentuknya, yang penting bernilai tinggi secara intelektual serta finansial. Mungkin ada baiknya guru yang mampu menulis di koran diberi kompensasi khusus, misalnya berupa honor tambahan. Sehingga, guru penulis tersebut mendapatkan honor dobel, selain dari koran yang bersangkutan. Metode tersebut sejak lama diterapkan kalangan perguruan tinggi. Misalnya, Universitas Negeri Malang (UM) yang memberikan reward khusus kepada civitas akademikanya (baik dosen maupun mahasiswa) yang mampu menulis di surat kabar. Hal yang sama juga dilakukan ITS Surabaya. Hasilnya? Dalam beberapa tahun terakhir, tradisi menulis di kedua institusi pendidikan tinggi tersebut maju secara signifikan.Begitu pula, pemerintah seharusnya menganugerahkan nilai tinggi untuk setiap artikel yang ditulisnya. Apalagi ditulis di koran beroplah banyak dan berkualitas tinggi. Masyarakat sudah tahu mana saja koran yang sangat selektif dalam menerbitkan artikel. Menghargai karya ilmiah atau ilmiah populer dengan nilai tinggi berarti meninggikan posisi menulis di atas membaca yang lantas diharapkan mampu membiasakan guru bersaing antarguru lewat menulis. Juga, mampu mengangkat namanya di antara koleganya sekaligus mengantarkan nama sekolahnya ke seluruh penjuru daerah. Bukankah untuk saat ini makin banyak koran (baik lokal maupun nasional) yang sangat welcome pada tulisan para guru tersebut? Tidak perlu jauh-jauh, Metropolis Jawa Pos sudah menunjukkan komitmen itu. Selanjutnya, bergantung kemauan dan iktikad baik sang guru apakah "mau atau tidak" memanfaatkan peluang emas tersebut.Begitu pun yang layak menjadi kepala sekolah, apalagi memegang jabatan di Dinas Pendidikan, seharusnya juga orang yang prestatif dalam dunia tulis-menulis. Lebih bagus jika mampu menghasilkan buku yang diakui Ditjen Dikdasmen, mengusung kurikulum berbasis kompetensi. Bukan sekadar menulis LKS (lembar kerja siswa) yang jika ditilik isinya hanya berkutat dan berputar-putar dari itu ke itu. Murid menjadi malas menjelajahi dunia ilmu, tidak bereksplorasi, dan akhirnya harus terus bergelut dengan hafalan. Bahkan, murid hanya menghafal jawaban tanpa perlu membaca soalnya. Itulah salah satu fenomena remaja kita akibat dunia sekolah yang tak kompetitif, tak bergairah, minim prestasi, dan kurang kesungguhan menghasilkan buku ajar yang benar-benar bermutu.Jika mengajar adalah tugas mulia, menulis tentu jauh lebih mulia. Menulis adalah menyebarkan ilmu. Tulisan, baik artikel maupun buku, adalah warisan guru yang paling berharga. Lewat tulisan, guru mengajar orang yang membaca tulisannya dan "abadi" sepanjang masa selama tulisan itu tak dimusnahkan. Mereka pun tak hanya mengajar murid di kelasnya, tapi juga semua pembacanya. Para guru seharusnya tidak boleh kalah dari murid-muridnya. Meski masih berstatus "murid", banyak anak didiknya yang sudah mampu menulis serta membuat buku. Ada anak-anak usia SMP dan SMA yang produktif menelurkan novel. Bukan hanya satu, tetapi nyaris sama dengan jumlah jari tangannya. Beberapa di antaranya bahkan menjadi best seller. Tentu itu menggembirakan bukan?Para guru seharusnya menjadikan hal tersebut sebagai sebuah motivasi. "Jika murid saya bisa, kenapa saya tidak?" begitulah kira-kira. Tentu, yang dimaksud di sini adalah menulis sesuai bidang ilmu yang ditekuni. Meski, menulis bidang kreatif lain tidak dilarang. Jika guru dan murid sama-sama suka menulis, betapa indahnya pembelajaran di sekolah kita. Mungkinkah?
(*)Nurhadi Teknik Fisika ITS, aktivis di komunitas penulis lepas

1 Comments:

At 4/28/2006 07:32:00 PM , Anonymous Anonymous said...

Halo...Mas erwin

Lho..lho tulisan saya di kutip disini to..he..he

Salam kenal

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home