Wednesday, March 08, 2006

Menulis, Bisa Kapan Saja dan di Mana Saja

Dimuat di Jawa Pos Rabu, 08 Mar 2006,
Oleh: Ria Fariana

CUKUP menarik apa yang disajikan saudara Nurhadi di kolom Opini-Metro Jawa Pos, Senin 6 Maret lalu. Membangun tradisi menulis, memang sangat diharapkan pada para guru. Tapi, tak kalah penting juga kepada khalayak umumnya. Memang, profesi guru adalah yang paling dekat dengan kegiatan menulis. Tak berlebihan bila semua berharap akan muncul tulisan-tulisan berkualitas yang mencerahkan wacana baca tulis tanah air. Tapi, kita tak bisa menafikan perkembangan menarik dari sektor lain. Tidak sedikit penulis yang lahir dari rahim sektor perkantoran, yang sepintas lalu sepertinya tak ada hubungan secara langsung dengan kegiatan baca tulis. Aktivitas di kantor yang seringkali berupa rutinitas yang monoton dan cenderung membosankan,
ternyata bisa membuka peluang kreativitas bagi karyawannya untuk menulis.Hal ini saya alami sendiri ketika bekerja di perkantoran sektor forwarding ekspor impor. Di waktu senggang, bila pekerjaan sudah tak banyak lagi, daripada ngegosip dan bercanda ke sana ke mari, maka menulis adalah pilihan lebih produktif dan kreatif. Meski itu sekadar menulis email untuk teman, diskusi di ruang maya, atau pun yang benar-benar menulis dalam sebuah buku tulis dengan tulisan tangan. Kebiasaan ini mengantarkan saya untuk bisa menulis dalam bentuk buku,yaitu hadirnya novel duet perdana berjudul Siluet Senja oleh Gema Insani Press yang kemudian diikuti single perdana berikutnya berjudul Mutiara oleh Dar Mizan. Memang, kreativitas menulis ini tak selalu direspons positif oleh perusahaan. Saya sendiri, demi kecintaan pada dunia tulis-menulis, membuat saya memilih hengkang. Yang ingin saya garis bawahi dari tulisan di atas adalah, ternyata budaya menulis bisa muncul dari suatu profesi yang secara sepintas lalu tak ada hubungannya dengan dunia tulis menulis. Maka, di sini menulis lebih merupakan sebuah budaya dan kebiasaan. Suasana yang kondusif bisa mendukungnya. Contoh yang lain adalah sektor ekspor tenaga manusia alias TKW. Teman-teman di Hongkong, yang mayoritas PRT (pembantu rumah tangga), menyempatkan waktunya --yang sedikit itu-- untuk menulis. Mereka membentuk forum khusus untuk bertemu sesama TKW dan membahas tentang dunia tulis-menulis. Bila kebetulan mereka mempunyai majikan yang baik, maka menulis dengan mengetik di komputer hasil meminjam majikan menjadi suatu anugerah tak terkira. Bila pun kurang beruntung, maka menulis di kertas atau pun buku dengan tulisan tangan menjadi pilihan yang tetap menyenangkan. Meneladani Siapa?Menjadi guru sangatlah mulia. Berawal dari guru inilah, motivasi menulis hendaknya bisa mulai dirintis. Bila mereka saja yang notabene digugu dan ditiru malas untuk menulis, lalu bagaimana lagi para muridnya? Yang layak disebut, ternyata tetap bermunculan murid yang menelurkan karya tulis yang luar biasa. Walaupun bolehlah dibilang tak ada guru yang bisa mereka teladani untuk biasa menulis, ternyata ada faktor pendorong lain. Mereka berguru pada orang tua, saudara, teman sebaya, dan penulis favorit. Orang tua yang akrab dengan dunia tulis-menulis menjadikan seorang bocah yang pada umur 7 tahun sudah mempunyai buku berjudul Puisi untuk Bunda dan Dunia. Ia juga pemenang pertama lomba menulis surat untuk presiden RI. Abdurrahman Faiz, namanya. Bocah yang sehari-harinya tak pernah lepas dari menulis ini meneladani sang bunda, Helvy Tiana Rosa, penulis produktif mantan ketua umum FLP (Forum Lingkar Pena). Tulisan sang bunda telah mendunia dan diterjemahkan dalam banyak bahasa Internasional, semisal Inggris, Prancis dan Arab. Sang bocah juga mendapat dukungan dari seorang ayah yang juga berprofesi sebagai wartawan. Lalu ada Izzati yang pada umur 5 tahun bisa membuat buku berjudul Nasi untuk Kakek. Meski pernah diakui oleh ibunya --di satu acara mengupas kemampuan putrinya yang masih kecil tapi sudah mampu menulis buku-- tak ada dari garis keluarga yang berkemampuan menulis. Ternyata motivasi Izzati kecil adalah "cemburu"positif terhadap Abdurrahman Faiz. Penularan semangat yang cukup membanggakan.Maka, sang ibu bertindak sebagai motivator ulung Izzati, bahwa ia pun bisa seperti Faiz. Ia bisa menulis buku kalau ia mau dan terus berlatih, sehingga lahirlah Nasi untuk Kakek. ` Banyak sekali Izzati-Izzati lain yang termotivasi dari penulis cilik pendahulunya dan ingin meniru prestasinya. Tinggal bagaimana daya dukung lingkungannya seperti orang tua, saudara, tetangga, sekolah terhadap potensi luar biasa ini. Belum lagi kalau kita menyebut nama Pipit Senja, penulis fenomenal yang bersuamikan wartawan dan "mencipta" penulis anak-anak yang sudah menghasilkan banyak buku best seller. Kita bisa bayangkan, di luar sana ada keponakan yang berusia ABG yang melihat tante atau oom-nya bisa menulis dan karyanya dipajang di etalase-etalase toko buku, bisa menjadi motivasi awal seorang remaja untuk cinta menulis. Atau, bisa juga seperti kasus saya, berangkat dari monotonnya kerja dan mencari selingan, ternyata menemukan keasyikan dunia menulis ini. Padahal ketika masih sekolah dulu sering dimarahi guru Bahasa Indonesia, karena tulisan tangannya berbentuk abstrak dan sulit dipahami. Intinya, semua itu butuh suatu pengkondisian dan keteladanan agar budaya menulis ini tumbuh subur. Sebagai MotivatorSeorang guru, selain diharapkan bisa menulis sesuai profesinya, juga diharapkan bisa mendukung para muridnya. Saya jadi teringat seorang teman yang datang ke rumah untuk meminta masukan menjelang lomba mading deteksi oleh Jawa Pos digelar. Teman saya itu "cuma" tenaga administrasi sebuah SMP swasta datang bersama rekan guru yang lain. Usut punya usut, ternyata guru yang seharusnya lebih berkompeten membina para murid ini, yaitu guru bahasa Indonesia, belum tergerak.Ketika teman saya itu meminta dukungan saya untuk hadir pada hari H lomba digelar, saya terikat waktu kantoran. Kejadian itu adalah satu dari banyak hal yang mengetuk kesadaran saya untuk banting setir, bahwa murid-murid membutuhkan pendamping yang peduli untuk memotivasi mereka berkreasi. Sehingga dengan lapang dada saya tinggalkan pekerjaan yang hampir lima tahun saya jalani untuk lebih fokus pada remaja-remaja yang ingin maju. Singkat kata, bila kita tak ada dana untuk mendukung kreativitas anak didik, cukup dukungan semangat dan moril akan sangat berarti untuk mereka. Bila belum ada kemampuan pada diri pendidik untuk menghasilkan karya yang dimuat di media massa atau pun terbit dalam bentuk buku, cukup kemampuan kita untuk bersimpati pada murid yang mau dan mampu menulis. Sebuah reward berbentuk pujian yang membesarkan hati sudah cukup bagi mereka untuk merasa dihargai. Bahkan ketika para murid itu sudah membuat tulisan tapi belum layak benar untuk dipublikasikan, pompaan semangat dari kita tentu akan sangat berharga bagi mereka agar mau mencoba dan terus mencoba lagi. Marilah situasi ini kita ciptakan.Ria Fariana, novelis, alumnus Bahasa Inggris Unesa, dan mengikuti program sertifikasi untuk S2 Unesa Fakultas Bahasa dan Sastra. Penulis juga merupakan pengurus FLP (Forum Lingkar Pena) Jatim.

1 Comments:

At 1/24/2007 01:05:00 PM , Anonymous Anonymous said...

Sama, ikutan Nurhadi. Kok tulisan saya bisa nongol di sini? Anyway, makasih ya :)

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home